Partai Politik

Posted by



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Partai Politik, berjalanya suatu Negara tidak lepas dari sebuah sistem politik. Karena sistem politik menjadi tolak ukur dalam kemajuan suatu Negara. Negara yang maju pasti menandakan seatu sistem politik itu baik dalam suatu Negara. Sistem politik sendiri dapat diartikan sebagai suatu mekanisme dari seperangkat fungsi, dimana fungsi-fungsi tersebut melekat pada suatu struktur-struktur politik, dalam rangka pelaksanaan dan pembuatan kebijakan yang mengikat masyarakat. Dalam suatu sistem politik terdapat berbagai unsur, dan salah satu unsur tersebut adalah partai politik.
Partai politik dalam hubungannya dengan sistem social politik ini memainkan berbagai fungsi, salah satunya pada fungsi input, dimana partai politik menjadi sarana sosialisasi politik, komunikasi politik, rekruitmen politik, agregasi kepentingan, dan artikulasi kepentingan. Lalu apa sajakah sebenarnya fungsi partai politik dalam hubungannya dalam proses pembuatan dan penerapan kebijakan di Indonesia, apabila melihat keadaan sekarang dimana partai politik telah dipandang sebelah mata oleh masyarakat yang merasa bahwa partai politik tidak lagi membawa aspirasi masyarakat melainkan keberadaannya hanya dianggap sebagai kendaraan politik yang dipakai oknum-oknum tertentu untuk menggapai  jabatan-jabatan publik di Indonesia. Untuk menggapai jabatan, biasanya kemandirian partai politik itu kurang.
Dalam kemandirian partai politik yang kurang baik biasanya partai politik memiliki ketergantungan pendanaan pada pengurus inti parpol dan penyumbang pada gilirannya menghasilkan parpol yang oligarkis. Parpol dipimpin para elite, baik elite karena kekayaannya maupun karena keluarga alias dinasti. Sangat sulit rasanya mewujudkan mimpi orang dengan integritas tinggi, tapi miskin modal memimpin partai politik.
B.     Perumusan Masalah
1. Bagimana cara atau upaya untuk meningkatkan kemandirian partai politik?

BAB II
PEMBAHASAN
Partai politik memiliki peran fundamental dalam masyarakat demokrasi. Mereka menjadi salah satu pilar bagi bangunan demokrasi. Tanpa mereka, demokrasi dan negara rapuh. Namun, tumpukan kasus korupsi yang membelit politisi di lingkungan baik legislatif maupun eksekutif, baik nasional maupun daerah, menyadarkan bahwa tatanan ideal itu belum tercapai di Indonesia. Partai justru mempertontonkan sistem yang memaksa politikus mengambil uang yang bukan haknya sehingga membuat standar moral politiknya kurang baik. Sistem pemilu proporsional terbuka untuk memilih anggota legislatif dan sistem pemilu dua putaran untuk memilih pejabat eksekutif melipatgandakan dana kampanye yang harus dikeluarkan para kandidat yang tentu sangat fantastis jumlahnya. Banyaknya kasus korupsi yang membelit politikus menjadi penegasan bahwa sebagian atau sebagian besar dana dikumpulkan dengan cara-cara ilegal. Menurut undang-undang, sumber keuangan partai politik ialah iuran anggota, penyumbang, dan bantuan negara.Celakanya, belum ada satu pun yang berhasil menjadikan iuran anggota sebagai tulang punggung pendanaan.
Negara perlu memberi bantuan dana karena sekali lagi, parpol ialah lembaga penopang demokrasi. Namun, bantuan negara selama ini senilai Rp13,7 miliar per tahun untuk 10 parpol dinilai jauh dari cukup. Dana bantuan untuk parpol sudah jamak di beberapa negara, semisal di Tiongkok, Jepang, atau beberapa negara di Eropa. Di Jepang bahkan diembel-embeli syarat bahwa dana itu hanya diberikan kepada parpol yang mempunyai visi dan misi serta ideologi positif bagi kepentingan negara. Sebaliknya, parpol yang tidak mampu menjalankan kinerja politik sesuai dengan aspirasi rakyat, justru berisiko dibubarkan. Bantuan itu pun diaudit ketat sehingga memacu kinerja parpol. Sebaliknya, dalam lanskap politik di Indonesia, lebih banyak elite mendirikan parpol hanya untuk mengeruk kekuasaan dan modal atau fasilitas negara. Kajian ICW (2006) menyebutkan bahwa perilaku dan tabiat parpol di Indonesia menjadi hotbed korupsi sehingga banyak politikus terjerat kasus hukum.
Parpol akhirnya mengandalkan pendanaan dari ketua umum dan atau pengurus inti partai serta sumbangan pihak luar. Celakanya, sumbangan dari pihak luar sering tidak gratis. Mereka berharap imbalan ketika parpol yang mereka sumbang menang dan menduduki banyak posisi, baik legislatif maupun eksekutif. Ketergantungan pendanaan pada pengurus inti parpol dan penyumbang pada gilirannya menghasilkan parpol yang oligarkis. Parpol dipimpin para elite, baik elite karena kekayaannya maupun karena keluarga alias dinasti. Sangat sulit rasanya mewujudkan mimpi orang dengan integritas tinggi, tapi miskin modal memimpin partai politik. Bila parpol kekurangan dana, kader parpol baik yang duduk di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif mencari sumber dana lain melalui korupsi. Parpol yang oligarkis dan korup tentu tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi. Kita membutuhkan partai yang mandiri dari segi pendanaan demi menghadirkan penguatan demokrasi.
Problematik lain yang dijumpai adalah gejala belum adanya kemandirian partai yang terkait dengan pendanaan yang tidak memadai di luar iuran anggota dan subsidi negara. Iuran anggota pada sebagian besar partai relatif tidak berjalan karena partai umumnya bersifat massa dan juga lemahnya mekanisme hadiah dan ganjaran didalam internal partai. Hal ini mengakibatkan partai senantiasa tergantung atau berharap pada sumbangan dari pemerintah dan pihak  lain baik pribadi atau perusahaan. Akibatnya, partai  politik sibuk mencari tambahan dana partai sedangkan pada saat yang bersamaan partai politik harus memperjuangkan kepentingan rakyat. Selain itu, mekanisme pengelolaan keuangan yang tidak didasarkan pada perencanaan dan penganggaran, pengakuntansian dan pelaporan yang baik, mengakibatkan  tidak terwujudnya laporan pertanggungjawaban keuangan partai yang transparan, akuntabel dan auditable. Hal ini mendorong rendahnya tingkat kepercayaan anggota dan masyarakat terhadap partai politik dalam mengelola keuangan dan kekayaannya.
            Riset Fitra (2014) juga menyebutkan dana parpol di Indonesia datang dari berbagai pos. Artinya, parpol Indonesia bukan sedang kekurangan duit tetapi kurang berideologi demokrasi politik yang bersih dan profesional. Maka perhatian pemerintah kita kepada parpol bukannya membantu on cash melainkan sebesar-besarnya fasilitasi guna membangun kemandiriannya. Berkaca pada tabiat parpol di Indonesia yang sarat perilaku korup, sebenarnya pewacanaan dana bantuan itu mencederai agenda membangun kemandirian dan kedaulatan parpol. Kita bisa melihat, meskipun tertatih-tatih beberapa parpol mampu mandiri secara keuangan, lantaran mendapatkan pasokan dana berlebih dari berbagai pos, baik sah, abu-abu, maupun tidak sah.
Ada beberapa alasan kenapa parpol harus mandiri. Pertama; menjaga independensi sebagai pengawas jalannya pemerintahan. Problem terberat kerja  parpol adalah melakukan kerja-kerja kenegaraan dalam hal pengawasan, pengendalian, dan pemantauan jalannya pemerintahan, sekaligus pengawasan terhadap fungsi-fungsi negara. Kasus dana siluman di DKI Jakarta pun terjadi karena legislator yang semestinya menjadi  watch dog pemanfaatan keuangan negara, berubah menjadi pengerat uang rakyat. Termasuk anggota DPR yang semestinya mengawasi tata kelola negara justru sering bertindak sebagai eksekutif yang sering ’’membegal’’ anggaran negara dengan berbagai agendanya.
Kedua; mencegah kekacauan peran dan kewenangan. Ruang gerak parpol sebagai alat checks and balances sebagaimana disebutkan Christian Joe dalam Politic Integrity (2006) hakikatnya agar kerja parpol benar-benar terpisah dari kerja pemerintah. Untuk itu, parpol harus netral dan tak perlu dibiayai negara karena bisa memengaruhi kualitas kerja parpol itu. Bahkan Joe berpendapat andai parpol sepenuhnya didanai negara, nantinya tak hanya memicu kekacauan kewenangan dan tugas tapi juga mengerdilkannya. Partai itu secara otomatis akan bertindak sebagai client dan mereka cenderung menjadi pembebek yang pasif submisif terhadap apa pun keputusan pemerintah.
Ketiga; mencegah praktik KKN. Omong kosong bila parpol diberi bantuan dana pemerintah secara otomatis bisa mencegah perilaku korup di antara kadernya. Riset ICW (2005) menyebutkan tak ada korelasi positif terkait dengan besaran bantuan pemerintah kepada pihak mana pun guna mencegah korupsi. Hal itu selaras dengan pendapat pakar keuangan dari Jepang, Kun Yamato dalam Politic Business (2007) yang mengatakan, terkait masalah uang, siapa pun dan kapan pun tidak akan memengaruhi watak dan tabiatnya untuk berubah. Justru yang terjadi makin banyak mendapat uang, semisal dari banyak sumber maka naluri menguasai uang pun makin besar. Buktinya, meski ada pegawai kementerian/institusi sudah mendapat remunerasi besar, perilaku korup masih saja terjadi.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kemandirian partai politik di Indonesia masih kurang baik. Banyak anggota partai politik yang masih korup, sehingga membuat kemandirian partai menjadi kurang baik. Partai politik Indonesia bukan sedang kekurangan duit tetapi kurang berideologi demokrasi politik yang bersih dan profesional.
B.     Saran

Untuk menjadikan partai politik menjadi mandiri, pemerintah harus mendorong partai politik untuk mandiri dengan cara menguatkan manajemen, menyederhanakan jumlah partai politik, dan menegakkan hukum politik. Selain itu, memberdayakan peran partai politik dalam membangun ideologi yang prorakyat, serta sebaliknya berhenti menjinakan parpol karena akan mengancam kedaulatan pemerintah.




Demo Blog NJW V2 Updated at: Juni 11, 2015

0 komentar:

Posting Komentar